Setelah Portugis datang pada tahun 1513 M sebagai bangsa Eropa pertama yang tiba di Ambon, sekitar tahun 1575 penguasa Portugis mulai membangun sebuah benteng di Dataran Honipopu. Benteng ini dikenal dengan nama Benteng Kota Laha atau Ferangi, dan diberi nama resmi Nossa Senhora de Anunciada. Dalam proses pembangunannya, penduduk yang dilibatkan oleh Portugis mendirikan permukiman yang disebut soa, yaitu kelompok kekerabatan berupa keluarga besar. Beberapa soa yang terbentuk antara lain Kilang, Ema, Soya, Hutumuri, Halong, Hative, Selale, Urimessing, dan Batu Merah. Perkampungan-perkampungan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Kota Ambon, karena masyarakat tersebut berkembang menjadi komunitas geneologis-teritorial yang teratur.
Ketika Belanda berhasil menguasai Kepulauan Maluku, termasuk Ambon, dari tangan Portugis, benteng Nossa Senhora de Anunciada direbut pada tahun 1605 M. Benteng itu kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial dan namanya diubah menjadi Victoria. Setelah dilanda gempa bumi yang menyebabkan kerusakan parah, benteng ini direnovasi dan diberi nama baru Nieuw Victoria. Meskipun demikian, masyarakat setempat hingga kini lebih mengenalnya sebagai Benteng Victoria.
Benteng Victoria memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia. Di tempat inilah Pahlawan Nasional Pattimura dihukum gantung pada 16 Desember 1817. Selain itu, Pahlawan Nasional Slamet Rijadi juga gugur di benteng ini dalam pertempuran melawan pasukan Republik Maluku Selatan.
Pulau Ambon ditaklukkan oleh Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) pada tanggal 23 Februari 1605, dengan bantuan kekuatan tempur dari Ternate, Luhu, Hitu, Jawa, dan Gowa. Pada masa awal kekuasaan VOC, terjadi beberapa kali pergantian gubernur. Salah satu gubernur yang terkenal karena sikap otoriternya adalah Adrian Martensz Block, yang memaksa rakyat melakukan kerja paksa untuk memperluas Benteng Victoria. Selain itu, Gubernur Herman van Speult juga dikenal karena kebijakan monopoli perdagangan rempah-rempah yang menyengsarakan rakyat. Pada masa pemerintahan VOC ini, pernah terjadi pula peristiwa pembantaian.
Pada 17 Februari 1796, VOC menyerah kepada laksamana Britania Raya, Pieter Ramier sehingga Kota Ambon menjadi bagian dari wilayah Britania Raya. Britania Raya memerintah di kota sampai tahun 1803.
Setelah itu, wilayah jajahan tidak diserahkan kembali kepada VOC, melainkan langsung kepada pemerintah Belanda. Hal ini terjadi karena VOC telah dinyatakan bangkrut pada tahun 1799, sebelum Kota Ambon diserahkan kembali.
Pada tanggal 7 September 1921, masyarakat Kota Ambon memperoleh hak yang setara dengan pemerintah kolonial. Pemberian hak ini menjadi salah satu bentuk perjuangan rakyat Indonesia, khususnya dari Maluku. Keputusan tersebut juga mencerminkan kekalahan politik bagi pemerintah kolonial, karena masyarakat Ambon mulai dapat terlibat dalam pemerintahan dengan ritme yang sama seperti politik penjajahan pada masa itu. Dengan demikian, masyarakat kota memiliki bekal yang kuat untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Tentara Jepang mendarat di Indonesia melalui Ambon pada 1 Januari 1942, setelah bergerak dari Kendari. Meskipun sebelumnya sama-sama mengalami penjajahan oleh VOC dan Belanda, Jepang berhasil menaklukkan Belanda dan sekutunya dalam Pertempuran Ambon untuk merebut Kota Ambon, yang saat itu merupakan markas angkatan laut.
Selama masa pendudukan Jepang, Ambon digunakan sebagai pangkalan udara utama. Namun, pendudukan ini juga membawa penderitaan bagi rakyat. Warga Ambon mengalami kemiskinan dan kelaparan sebagai dampak langsung dari perang.
Beberapa peninggalan masa pendudukan Jepang masih dapat ditemukan hingga kini. Salah satu yang paling terkenal adalah Pemakaman Perang Ambon, tempat dimakamkannya tentara-tentara Sekutu yang gugur dalam Pertempuran Ambon. Selain itu, Gubernur Maluku, Said Assagaf, pernah menemukan dua torpedo peninggalan Jepang di dasar Teluk Ambon saat melakukan penyelaman.
No Code Website Builder
Follow us